Sumber gambar : http://mapcorner.wg.ugm.ac.id/ Saat dunia lama telah runtuh, tetapi dunia baru belum datang, demikianlah revolusi selalu ber...
Sumber gambar : http://mapcorner.wg.ugm.ac.id/
Saat dunia lama telah runtuh, tetapi dunia baru belum datang, demikianlah revolusi selalu bermula –Designated Surirvor: 60 Days-
Opini, Setaranews.com - Seperti yang
kita ketahui sebelumnya bahwa mahasiswa dan Soeharto memiliki hubungan yang baik
diawal masa orde baru, kedekatan Soekarno dan PKI membuat mahasiswa angkatan 66
menaruh harapan yang besar kepada Soeharto dan angkatan darat, maka pada 25
Oktober 1965, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu pengetahuan (PTIP) Prof. Dr. Syarif Thayeb yang
juga keluarga ABRI bersama dengan beberapa organisasi mahasiswa seperti HMI, GMNI, MAPANTJAS, SOMAL, PELMASI membentuk KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI merumuskan penurunan Soekarno dengan
membuat tiga tuntutan yang disebut dengan Tritura yaitu : Bubarkan PKI, Rombak
Kabinet Dwikora, dan Turunkan Harga.
KAMI
yang hampir setiap hari melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran
pada Januari-Maret 1966 akhirnya berhasil menjatuhkan Soekarno dari tampuk
kekuasaannya. Ditandai dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas
Maret) pada tanggal 11 Maret 1966, pada saat itu Soekarno menyerahkan mandat
kepada Soeharto untuk memulihkan keadaan dan menghidari pertumpahan darah.
Kemudian disusul dengan dikeluarkannya Tap MPR NO.XXXIII/MPRS/1966 tentang
pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno yang kelak menjadi tanda berakhirnya
pemerintahan Soekarno dengan Orde Lama serta menandai masuknya era kepemimpinan
Soeharto dengan Orde Barunya.
Pada
awalnya, kelahiran rezim Orde Baru ini disambut baik oleh mahasiswa karena
dianggap memberi harapan untuk terbentuknya pemerintahan yang demokrasi dan
transparan di Indonesia. Namun pada akhirnya harapan itu kandas ketika elit
Orde Baru yang banyak diisi oleh faksi militer dan didukung oleh sekelompok sipil
justru membatasi kebebasan pendapat dikalangan mahasiswa yang dianggap sudah
tak sejalan lagi dengan penguasa, serta pemerintah Orde Baru juga mengeluarkan
Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang menjadi
pembuka bagi izin investasi asing masuk ke Indonesia. Kelak UU ini lah yang
menjadi legitimasi bagi PT Freeport untuk bisa mengeruk emas sebanyak-banyaknya
di Papua, sesuatu kebijakan yang dulu sangat diharamkan oleh pemerintahan
Soekarno.
Mulai Renggangnya Hubungan Mahasiswa dan
Orde Baru
Kritik
mahasiswa kepada Orde Baru sudah muncul sejak 1970-an. Mahasiswa saat itu
mengkritisi pembangunan yang dilakukan oleh Orde Baru hanya menekankan pada
penanaman modal asing. Alih-alih ingin memperbaiki citra Indonesia di mata
dunia, Orde Baru justru melakukan kesalahan yang fatal dengan menjalin hubungan
kembali bersama IMF dan bank dunia yang mengakibatkan Indonesia terjerumus ke
dalam cengkraman modal asing dengan model pembangunan yang bersifat neoliberal.
Hal ini juga yang menjadi penyebab dari diserahkannya pusat-pusat sumberdaya
alam seperti minyak, emas, batubara hingga hutan kepada korporasi internasional
untuk dikuras habis dan dirampok.
Liberalisme
ekonomi yang dilakukan oleh Orde Baru justru tidak dibarangi dengan demokrasi
politik sehingga kontrol publik yang dilakukan pada saat itu sangatlah kecil, hal
inilah yang menyebabkan pemerintahan saat itu sangat korup. Karena dengan dalih pembangunan dan
stabilitas nasional rezim Orde Baru membangun kekuasaannya dengan membuka keran
bagi masuknya modal asing, tetapi justru menutup rapat-rapat partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh
orang-orang disekitar elit Orde Baru untuk mengambil keuntungan dari pada
mempercepat proses pembangunan.
Mahasiswa yang saat itu merasa bahwa Orde Baru semakin kapitalis
dan menindas, maka mulai muncul kritik mahasiswa terhadap dominasi modal asing
di Indonesia hingga akhirnya muncul peristiwa 15 Juli 1974 yang merupakan
protes awal masuknya modal asing ke negeri ini. Dengan menolak kedatangan
Tanaka, perdana Menteri Jepang yang menjadi simbol neokolonialisme di Indonesia.
Pada saat itu mahasiswa juga mengeluarkan tiga tuntutan yang kelak dikenal
dengan tritura baru, yaitu : bubarkan aspri (asisten pribadi Presiden),
turunkan harga, dan berantas korupsi. Maka pada saat itulah hubungan baik
antara mahasiswa dan Orde Baru mulai renggang. Dan mulai saat itulah mahasiswa
kembali menggunakan jalanan sebagai medium untuk menyampaikan kritik kepada
rezim Orde Baru walaupun tindakan represif terus dilakukan oleh rezim Orde Baru
kepada mahasiswa.
Orde Baru
Mulai Menunjukan Watak Aslinya
Setelah
meletusnya peristiwa 15 Juli 1974 pemerintah melakukan penangkapan-penangkapan
terhadap tokoh-tokoh mahasiswa, beberapa diantaranya dijebloskan kedalam
penjara dengan bukti yang meragukan. Tidak hanya itu pemerintah melalui Syarif
Thayeb mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan nomor 028 tahun 1974, yang isinya adalah tentang keharusan mahasiswa melaporkan setiap kegiatan
kepada pimpinan kampus, juga larangan keras melakukan protes ataupun
demonstrasi di dalam dan di luar kampus. Keluarnya SK 028 dan ditangkapnya
tokoh-tokoh mahasiswa menjadi pukulan telak bagi mahasiswa karena mereka tidak
menyangka pemerintah akan bertindak sekeras itu kepada mereka.
Namun
pada kenyataanya SKM 028 tidak efektif, mahasiswa yang menyadari adanya
rekayasa pemilu 1977 tidak tinggal diam, pada tanggal 24-27 Oktober 1977 Dewan
Mahasiswa ITB mengadakan pertemuan DM se-Indonesia di Bandung. Tepat sehari
diadakannya pertemuan DM se-Indonesia pada tanggal 28 oktober 1977 yang
bertepatan hari sumpah pemuda, seluruh delegasi perwakilan DM/SM se-indonesia
mengadakan aksi turun ke jalan di Bandung yang diikuti kurang lebih oleh 8000
mahasiswa. Pada hari yang sama di Jakarta mahasiswa IKIP Jakarta dan UI
mengadakan long march dari kampus IKIP Rawamangun ke kampus UI Salemba.
Mahasiswa menilai Soeharto yang telah gagal memegang amanat rakyat
dengan bukti tingginya tingkat korupsi dan penyelewengan jabatan negara untuk
kepentingan pribadi dan kelompok pada era kepemimpinannya tidak pantas menjabat
kembali menjadi presiden. Dengan mengeluarkan pernyataan secara terang-terangan
menentang agar Presiden Soeharto tidak mau atau menolak dicalonkan kembali menjadi
Presiden yang ketiga kalinya atau mengundurkan diri bila terpilih nantinya,
pernyataan ini dikeluarkan pertama oleh Dewan Mahasiswa ITB pada 14 Januari
1978, yang kelak disusul oleh pernyataan yang sama dari DM/SM lainnya seperti
dari IKIP Jakarta, UI, dan USU.
Rencana
aksi pada 20 Januari 1978 yang disusun oleh mahasiswa bocor ke tangan aparat,
hingga akhirnya aparat melakukan penangkapan besar-besaran terhadap aktivis
mahasiswa di kota-kota besar tercatat 223 dan 17 orang non-kampus ditangkap
oleh rezim orde baru, pada tanggal 20 Januari 1978 Laksaman Soedomo juga
membredel pers nasional dan pers mahasiswa yang rangkaian pemberitaannya
dianggap telah menjurus kepada sifat menghasut aksi-aksi mahasiswa. Dengan
dalih mengamankan situasi nasional menjelang Sidang Umum MPR, pada tanggal 21
Januari 1978, Soedomo melalui surat Keputusan Pamkobkamtib (Panglima Komando
Pengendalian Keamanan dan Ketertiban) NO/02/KOPKAM/1978 membekukan Dewan
Mahasiswa seluruh Indonesia. Pada 3 Maret 1978 di dinding-dinding kampus
Rawamangun dan Salemba mahasiswa menempel poster-poster yang bernada protes.
Mendengar kabar kalau di kampus mulai terdengar suara protes dari mahasiswa,
militer menyerbu kampus-kampus dan mendudukinya dalam beberapa waktu. Tercatat,
tentara mendobrak masuk gerbang Kampus UI Salemba yang telah dirantai dan
menurunkan poster-poster tersebut.
Pendudukan kampus oleh militer memang tak bisa dibenarkan, karena
kritik dan protes di dalam negara demokrasi harus diberi ruang,
namun tindakan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru kepada mahasiswa semakin memperlihatkan watak
rezim Orde Baru yang antidemokrasi. Rezim Orde Baru tak segan-segan
menghancurkan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kepentingan
pemerintah. Maka untuk menghilangkan aktivitas politik mahasiswa, Orde Baru tidak
hanya membekukan Dewan mahasiswa. Pemerintah melalui Daoed Joesoef juga
mengeluarkan SK 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus pada tanggal
19 April 1978 yang benar-benar berdampak pada gerakan mahasiswa di kampus.
Membangun
Kembali Gerakan Mahasiswa Menuju Reformasi Indonesia
Setelah pemberlakuan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), kemudian
muncul BKK ( Badan Kordinasi Kemahasiswaan). Kampus benar-benar menjadi
“steril” mahasiwa datang ke kampus hanya untuk belajar karena ada ancaman drop
out bagi mahasiswa yang lulus tidak tepat waktu, hanya sedikit mahasiswa yang
aktif di unit kegiatan saat itu. Hal ini menyababkan kampus terlihat sepi dari
kegiatan politik pada awal 1980an. Karena mahasiswa saat itu kesulitan untuk menyalurkan
kritik politiknya sebab tidak adanya organisasi mahasiswa atau dewan mahasiswa
yang dapat memobilisasi mahasiswa hingga akhir 1980an aksi-aksi mahasiswa hanya
mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan masalah internal kampus, seperti: fasilitas
kampus, kualitas pembelajaran dosen, uang kuliah yang naik dll.
Baru diawal tahun 1990an gerakan mahasiswa kembali bangkit, hal
ini didasari dari mulai banyaknya aktivis-aktivis mahasiswa yang mempertahankan
basis-basis pergerakan dari penghancuran yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru. Belenggu NKK/BKK dapat didobrak dengan memulai pergerakan diluar kampus
seperti membangun kelompok studi dan pers mahasiswa. Dari kedua basis
pergerakan itulah perlawanan mahasiswa dapat selalu terjaga. Hingga pada tahun 1992
pemerintah menginisiasi berdirinya Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT)
suatu organisasi internal kampus ditingkat universitas yang semi-independen.
SMPT umumnya dikuasai oleh organisasi extra kampus seperti GMNI, HMI, PMII,
PMKRI. SMPT inilah yang kelak dipergunakan sebagai organisasi legal di kampus
untuk memobilisasi dan mengordinir massa mahasiswa.
Bangkitnya gerakan mahasiswa 98 tidak terlepas dari krisis ekonomi
yang kian parah, hal ini disebabkan karena banyaknya praktek korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN) yang dibiarkan oleh pemerintahan Orde Baru guna
melenggangkan kekuasaannya. Aksi mahasiswa mulai marak sepanjang bulan
Februari-Mei 1998, aksi yang semulanya dilakukan di dalam kampus mulai diadakan
di luar kampus mulai Mei. Jalan-jalan di kota pun dipenuhi oleh massa-massa
yang menuntut reformasi total. Bentrok fisik yang terjadi antara mahasiswa dan
militer sejak bulan Februari digunakan oleh mahasiswa sebagai alat untuk
menelanjangi pemerintahan Orde Baru. Tuntutan yang awalnya hanya tentang masalah
krisis ekonomi akhirnya berkembang menjadi isu politik hingga muncul tuntutan
untuk “Menurunkan Soeharto”.
Soeharto yang saat itu sedang ada di Kairo mengisyarakatkan akan
mundur serta mengawal reformasi dan akan mudur setelah pemilu dilaksanakan.
Namun tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh massa aksi. Hingga pada tanggal 18 Mei, akhirnya Harmoko selaku
ketua MPR, yang selama ini menjadi “anak emas” Soeharto, membuat sebuah pernyataan
yang mengejutkan. Bersama Syarwan Hamid, ketua Fraksi ABRI di Parlemen, Harmoko
menuntut pengunduran diri Soeharto. Para loyalis mulai meninggalkan Soeharto.
Para mahasiswa menyambut gembira berita itu. Hingga tibalah pada hari yang
bersejarah 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur dari jabatan kepresidenan dan
digantikan oleh wakilnya Habibie.
Ujian Besar
Setelah Kejatuhan Soeharto
Kejatuhan
Soeharto begitu jauh lebih cepat dari perkiraan mahasiswa, hal ini membuat
mahasiswa kaget dan terbagi dua, Sebagian mahasiswa meninggalkan Gedung DPR/MPR
karena merasa bahwa tuntutan mereka telah tercapai. Sedangkan sebagian
mahasiswa lainnya, tetap bertahan di parlemen jalanan hingga hasil perjuangan
benar-benar terwujud. Mahasiswa yang masih bertahan di gedung DPR/MPR
menginginkan adanya reformasi di segala bidang karena jatuhnya Soeharto tidak
membuat serta merta struktur politik dan ekonomi Orde Baru sepenuhnya runtuh. Salah
satunya adalah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota menyatakan menolak
Habibie yang mereka anggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. mahasiswa yang menolak
Habibie, menuntut diadakannya Sidang Rakyat serta pembentukan KRI (Komite
Rakyat Indonesia) yang akan bertugas sebagai lembaga eksekutif dan legislatif
dalam pemerintahan transisi menuju Indonesia baru.
Sedangkan,
Kelompok mahasiswa yang mendukung Habibie menyatakan bahwa peralihan kekuasaan
dari Soeharto ke Habibie itu konstitusional, dan mereka ingin memberikan
kesempatan kepada Habibie untuk melaksanakan agendaagenda reformasi. Kelompok
inilah yang meninggalkan Gedung DPR/MPR setelah Soeharto meletakan jabatan
kepresidenannya. Komite Rakyat Indonesia yang berperan sebagai pemerintahan
transisi diberikan tugas dan wewenang untuk; (1) membubarkan DPR/MPR hasil
Pemilu 1997, (2) menyusun dan menetapkan amandemen untuk menafsirkan pasal-pasal
UUD 1945 secara jelas, (3) mencabut 5 paket UU Politik. (4) menyelenggarakan
pemilu ulang yang jujur dan adil untuk memilih DPR/MPR yang baru pilihan
rakyat. (6) DPR/MPR yang baru mengadakan sidang umum untuk memilih presiden dan
wakil presiden yang baru. (7), Komite Rakyat Indonesia membubarkan diri. Terakhir,
presiden dan wakil presiden yang baru mengadili Soeharto.
Jika
mahasiswa 1980an mengalami kemunduran akibat dari diberlakukannya NKK/BKK, maka
gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto mengalami kemunduran akibat
perpecahan internal. Sementara itu dukungan tokoh-tokoh dari oposisi tua yang
dulu menentang Soeharto makin melemah karena figur-figur tersebut justru sibuk
membentuk partai politik untuk mengikuti pemilu. Gerakan mahasiswa pun melemah
akibat mengalami perpecahan di tubuh gerakan mereka sendiri. Aksi-aksi
mahasiswa semakin lama semakin surut karena kurangnya dukungan dari rakyat. Hal
inilah yang membuat kelak reformasi tidak berjalan dengan tuntas karena
unsur-unsur dari Orde Baru masih bertahan meskipun Soeharto telah turun dari
kursi kepresidenan.
Penulis:
Aditya Panca Nugraha, Anggota DPM KM UGJ Periode 2021/2022
COMMENTS