Opini : Gagasan Imajiner pasca corona

Diambil dari www.google.id “pertanyaanya adalah bagaimana anda menganggap diri anda hidup?” Opini, Setaranews.com - Gagasan Martin Surjaya ...

Diambil dari www.google.id

“pertanyaanya adalah bagaimana anda menganggap diri anda hidup?”

Opini, Setaranews.com - Gagasan Martin Surjaya rupanya cukup menarik dan menggelitik perihal pembahasanya tentang merumuskan konsep sosialisme dan demokrasi di era 4.0 dengan dibidani wabah virus korona. Bagaimana gagasan imajiner itu begitu terasa sangat mungkin bisa terjadi tetapi juga mungkin hanya khayalan fantasi kita tatkala menyaksikan film – film holywood bergenre sci-fi. Dalam beberapa bulan terakhir dunia sedang diguncang dengan wabah virus korona, berbagai negara menerapkan langkah – langkah yang tidak pernah terbayangkan dalam bebrapa dekade sejarah manusia, lockdown sebuah kota, memulangkan para pekerja, melakukan batasan fisik dan sebagainya. Imbasnya tentu saja berdampak pada sektor bisnis dan ekonomi yang memburuk, terutama bagi sektor swasta. Mungkin saudara pun ada didalam barisan orang – orang yang terdampak imbas dari wabah covid -19 ini, begitupun dengan saya yang harus mengundurkan diri sebagai karyawan out-sourcing.

Terpuruknya sektor ekonomi bisa kita pahami sangat berimbas pada bisnis – bisnis yang dimiliki swasta, atau malah bahkan beberapa perusahan swasta sangat diuntungkan dengan peristiwa ini seperti perusahan farmasi yang memproduksi masker, APD dan obat – obatan. Kondisi ini akan semakin menjadi tak terkendali tatkala negara tidak mengambil peran – peran krusial dalam mengatasi wabah korona. Maka dari itu wajib bagi negara untuk mengambil alih dan mengambil langkah – langkah nasionalisasi sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Nasionalisasi sendiri bertujuan agar negara sebagai organisasi tertinggi dapat dengan mudah menanggulangi bencana korona dan dapat segera menditribusikan kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Saat ini di beberapa negara penguasaan sektor – sektor vital kini dikembalikan lagi penguasaannya pada negara,  seperti di inggiris sektor transportasi darat laut, dan udara di kembalikan penguasaanya pada negara.  Di Indonesia nasionalisasi sektor vital jelas tertuang dalam UUD dasar 1945 pasal 33 ayat 3 “ bahwa  bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sungguh sangat sosialis bukan?

Nasionalisasi sektor vital ini yang bagi banyak kaum liberal klasik di khawatirkan akan menjadi sentralisasi keuasaan yang melahirkan budaya otoritarian. Jiak dulu lahirnya revolusi proletariat hadir dengan  wacana menggulingkan kaum borjuis dan merebut alat produksi apakah kini sosialsme akan lahir dari ancaman wabah virus corona? Apakah ini akan menjadi pengulangan pengejawantahan sosialis yang pernah diprakarsai oleh lenin dan stalin? Sosialis diktator tanpa hadirnya demokrasi sebagai perwaklin dari hak tiap individu. Sebagaimana kita ilhami pandangan Sutan Sjahrir bahwa sosialisme tanpa demokrasi hanya akan melahirkan kediktaktoran sedangkan demokrasi tanpa sosialisme akan menciptakan kaptalisme yang brutal. Memasangkan demokrasi dan sosialis nyatanya tak semudah itu, Indonesia yang mencoba mewakilkan antara demokrasi dan sosialis yang terumus dalam undang – undang bukanya harmonis malah kian menuju pada gagasan politik yang lebih praktis pada kepentingan  beberapa kelompok. Demokrasi sendiri bisa di artikan sebagai keterwakilanya seorang individu dalam urusan publik yang kemudian terbatasi oleh keterwakilan individu lain. Dalam gagasan teori demokrasi klasik bahwa tiap peran dan hak individu adalah sama pentingnya dengan individu lain tapan memandang si jelek dan sitampan, sikaya dan simiskin dan sebagainya.

Di era industri 4.0 geopolitik dunia kini di kendalikan atas kemampuan suatu negara terhadap penguasaan data dan informasi. Di awal abad ke 20 kepentingan global masih didasarkan atas teori penguasaan  heartland dan world land (daerah pengahasil minyak dan gas dunia), Jerman dibawah kekuasaan Hitler begitu berambisi memperluas batas – batas wilayahnya dan sangat sengit mengembangkan teknologi kemiliteran sebagai perwujudan negara adidaya. Bergeser ke era cold war dengan majunya teknologi transportasi, perwujudan kekuasaan berganti menjadi penguasaan atas wilayah – wilayah strategis jalur distribusi. seperti turki yang menghubungkan (asia, eropa dan afrika) atau barangakali singapura, selat panama dan sebagainya. Dalam industry 4.0 data dan informasi menjadi titik tolak krusial sebagai bentuk geopolitik global yang baru, hilangnya batas – batas wilayah bouderless  memberikan kesempatan yang sama bagi negara berkembang untuk ikut andil dalam persaingan geopolitik global 4.0, atau barangkali sebaliknya ini adalah bentuk keterjajahan yang paling  ekstrem. Pasalnya kini negara dan masyarakat didalamnya dapat diperdagangkan kedalam sebuah bentuk data dan informasi yang terdigitalkan.

Sebut saja seperti ini bila kita manusia dapat mengetahui apa yang sebenarnya kita butuhkan, maka kita tahu apa yang harus kita lakukan. Lalu bagaimana jika ada sebuah alat yang dilahirkan oleh teknolgi mampu memberitahu kita apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak. Kenyataan kita sudah memiliki alat tersebut yang sebut saja sebagai gadget yang kita gunakan keseharian dalam bertukar pesan, berselancar di dunia maya dan lain sebagainya. Nyatanya perilaku kita dalam menggunakan gadget yang terhubung dengan internet melahirkan sebuah informasi yang kemudian oleh teknologi  mejadi suatu algoritma. Algoritama ini yang kemudian akan mengidentifikasi kebutuhan kita pengguna user dan merekomendasikan hal – hal yang kita minati. Sebagai sebuah perumpaan, saya sendiri sedang gemar dengan ikan cupang, maka yang ditampilkan di beranda oleh platform yt, ig dan fb saya isinya barangkali di dominasi oleh tema ikan cupang. Ini tentu adalah jawaban atas aktifitas saya sebelumnya dalam kolom – kolom pencarian yang menghasilkan algoritma bahwa pemilik gadget  tertarik dengan tema tersebut. Lalu apakah algoritma yang dapat membaca kebutuhan manusia tersebut independen (hanya terpengaruh oleh naktifitas user) atau ternyata algoritma tersebut tercampur aduk dengan kepentingan pemilik hak ciptanya, barangkakali mungkin kita bisa menjawabnya bersama. Tetntu teknologi informasi ini adalah dua sisi mata uang yang saling berlainan bahakan bertentangan.

Lalu bagaimana kita berandai kembali, di industy 4.0 kita mampu menciptakan sebuah aplikasi atau software yang dapat mempertemukan data dan informasi kita yang sudah terdigitalisai dengan aturan – aturan dan kebijakan – kebijakan yang sudah terinstalasi dalam aplikasi. Jika anda dalam situasi kritis dalam kesulitan ekonomi aplikasi ini mampu memproses data informasi tersebut menjadi algoritma – algoritma yang memberikan kebijakan yang sesuai  (missal  kredit lunak ) yang sudah terinstal dalam Big Data. Jika anda tidak merasa sesuai dengan kebijakan/aturan yang di rekomendasikan aplikasi bisa melakukan judicial review, sehingga ada revisi tentunya. Peran aparatur negara bisa ditiadakan, korupsi bisa dipangkas habis, birokrasi makin transparan dan efisien karena di era industry 4.0 mesin bisa menjadi alat paling bijaksana dalam mengmbil langkah – langkah kongkrit, dalam mempertemukan kepentingan tiap individu dengan kebijakan negara. Nasionalisasi sektor vital secara mutlak oleh negara agar bisa di distribusikan tanpa memandang bulu, kebijakan yang diatur oleh mesin dengan mempertimbangan kepentingan tiap individu yang terangkum dalam data informasi disimpan dalam big data dan di olah oleh algoritma.

Penulis : Saeful Fatah, S.P