Setaranews.com- Amis itu bau, dan sawah itu kotor. Mungkin, begitulah alam pikiran yang tertanam pada masyarakat modern. Bersamaan dengan it...
Setaranews.com- Amis itu bau, dan sawah itu kotor. Mungkin, begitulah alam pikiran yang tertanam pada masyarakat modern. Bersamaan dengan itu berdalil bahwa melakukan semua pembangunan harus seperti kota-kota besar, yaitu membangun sistem transportasi dan produksi dengan beton dan baja besar. Tempat bermukim dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan jalan raya dihiasa deretan reklame perusahaan multinasional dan internasional dan berjejernya gemerlap lampu. Lalu dengan arogan, penguni kebudayaan modern itu memvonis bahwa, inilah hasil dari kebudayaan tertinggi umat manusia. Tesis inilah yang kemudian hendak diperiksa melalui suasana di Ambulu sesungguhnya.
Tulisan ini adalah pengalaman penulis ketika berkunjung ke Ambulu. Dimana sebagian masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Nelayan yang hanya menggunakan perahu kayu, dengan mesin kecil yang mengandalkan bahan bakar solar, dan jala dianyam dengan tangannya sendiri. Sungguh terlihat mandiri dan sederhana.
Dipinggiran laut terdapat tanaman mangrove, dengan pandangan laut yang tak terbatas. Ada ratusan burung bangau terbang mencium air laut, lalu singgah di dataran pantai. Terkadang juga hinggap dipucuk batang pohon, seperti bercakap dengan daun mangrove. Tak hanya keindahan, tapi Ambulu juga menyimpan kekayaan ekosistem.
Dari sudut lain, ada hamparan tambak ikan dan garam yang luas, dengan beberapa bangunan gubuk kayu dan rentetan kincir angin. Terlihat juga sekumpulan anak-anak bermain sepak bola di pinggiran tambak. Berlari kesana-kemari dengan telanjang dada dan tertawa lepas. Sangat ceria dan bebas.
Disore hari senja pun tiba , nampak memerah. Cahayanya memantul melalui air laut, dengan beratap birunya langit. Dibarengi suara gemuruh dari rentetan kincir angin yang tertiup angin. Demikianlah suasana Ambulu yang masyarkatnya hidup menyatu bersama alam.
Tapi, lihatlah suasana kota, sungguh kontras. Macetnya kendaran pagi dan sore hari. Barisan manusia berseragam menjalankan mesin produksi, manusia seperti sama, seragam, hanya nomor urut yang membedakannya .Waktu diisi hanya untuk berhadapan dengan mesin, pekerjaan dan rutinitas yang sama, manusia bekerja seperti mesin. Bosan, tak ada interaksi sosial, apa lagi dengan alam, yang ada melulu transaksi demi produksi.
Belum lagi deretan tembok yang berlapis baja dan kaca, membuat suasana menjadi pengap. Jumlah kendaran yang terus meningkat membuat kualitas udara memburuk. Ruang publik habis disulap menjadi mall dan deretan hotel. Dan lalu-lintas manusia seperti robot, yang keseharinya menjalani sistem yang dibuat. Jam berangkat dan pulang beraktifitas sudah ditentukan, bahkan tidur sekalipun. Tak lagi terihat keunikan dan kelucuan manusia, otentitas manusia direduksi oleh sistem. Semua nampak seragam dan sama.
Apa iya begini pembangunan kota, yang kemajuan masyarakanyat dihitung hanya melalui statistik ekonomi. Yaitu, seberapa besar jumlah produksi, bagaimana memperbesar akumulasi modal, dan seberapa besar surplusnya untuk pemodal. Seolah menegaskan bahwa uang adalah tujuan, sah saja walau kita mengeksplotasi manusia. Betul, inikah arah pembangunan kita?
Karena ada rencana, Ambulu akan dibangun daerah perindustrian. Dan berita ini membua kegilisahan bagi masyarakat Ambulu. Sosialisasi perencanan itu sudah dilakukan setahun yang lalu. Tersiar juga kabar, bahwa pembebasaan lahan itu mengakibatkan masyarakat Ambulu terpecah. Ada yang setuju lahannya dijual dan ada yang tidak, terjadi pro dan kontra.
Tapi, menurut salah satu warga sekitar, sosialisasi pembangunan industri sudah sampai dengan janji-janji. Dan salah satu janjinnya adalah, masyarakat sekitar akan diberikan pekerjaan hingga anak dan cucu. Resah itu semakin membara, ketika orang asing datang ke Ambulu untuk memberi informasi bahwa pembebasaan lahan akan segera dieksekusi. oleh karenanya, bagi yang memiliki lahan agar segera mempersiapkan surat-suratnya. Karena harga permeter tanah sudah ditentukan, ini jelas membuat masyarakat panik.
Semestinya, varibel rencana pembangunan tak cukup hanya dilihat dari segi potensi ekonomi. Aspek antropologis, sosilogis, dan kebudayaan sekitar perlu menjadi tinjuan utama. Dan presfektif merawat kelestarian- kebudayaan sekitar adalah prosedur pertama yang harus dilewati. Mengapa, karena dalam sejarah eksistensi kebudayaan dan kelestarian setempat tak bisa disuntik dengan statistik ekonomi. Malah sebaliknya, dalam sejarah peradaban manusia pembangunan yang berpondasi ekonomi itu rapuh, cepat runtuh dan membawa bencana. Presfektif itulah yang mesti membuat pemangku kebijakan berpikir ulang soal rencana pembangunan, yang kini sudah menuai protes maha dasyat dari masyrakat sekitar.
Oleh sebab itu harus ada presfektif baru untuk melakukan pembangunan di era moderen. Karena sebetunya pembangunan di era moderen tak ditentukan oleh kumpulan besi-besi yang nampak seperti rumah besar (pabrik) dan juga hasil produksinya. Dengan barisan manusia berseragam bekerja dengan rutinitas, setiap pagi berangkat dan sore hari pulang ke rumah. Dan hanya memiliki libur dihari minggu, jika ingin pengasilan tambahan disediakan lembur dihari libur.
Jika konsep pembangunan demikian, manusia hidup seperti mesin, dan tercerabut dari kehidupan sosial dan alamnya. Waktu terisi hanya untuk berhadapan dengan mesin, bukan dengan manusia. Tak lagi mengenal alam sebagai bagian dari hidupnya. Alam dilihat hanya entitas produsen konsumsi, bukan sebagai relasi. Dan yang terjadi, manusia menjadi terasing dari ruang sosial dan alamnya.
Pembangunan mestinya berefek pada kebudayaan yang beradab. Manusia mampu hidup bersama dengan alamnya. Yang artinya, membiarkan masyarakat Ambulu hidup bersama kebudayaan otentikanya. Mampu hidup dan menghidupi alam yang memberikan kehidupan bagi anak-cucunya nanti. Karena dengan merawat ekosistem lingkungan sama halnya dengan memperpanjang masa peradaban manusia. Manusia ada karena lingkungan, yaitu alam.
Dengan harapan kelak, masih melihat burung berterbangan dan bukan asep pabrik. Masih merasakan jernihnya air laut, yang tak tercemari limbah pabrik. Masih ada tumbuhnya pohon mangruv, bukan beton-beton pabrik penyanggah pabrik. Masih memelihara tambak ikan dan garam, bukan gelondongan pipa dan besi karat. Karena kita spesies manusia masih perlu hidup dengan alam yang sesungguhnya. Untuk itu, jangan rusak ketentraman, kekayaan dan keindahan alam Ambulu.
Oleh : Kris Herwandi
Tulisan ini adalah pengalaman penulis ketika berkunjung ke Ambulu. Dimana sebagian masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Nelayan yang hanya menggunakan perahu kayu, dengan mesin kecil yang mengandalkan bahan bakar solar, dan jala dianyam dengan tangannya sendiri. Sungguh terlihat mandiri dan sederhana.
Dipinggiran laut terdapat tanaman mangrove, dengan pandangan laut yang tak terbatas. Ada ratusan burung bangau terbang mencium air laut, lalu singgah di dataran pantai. Terkadang juga hinggap dipucuk batang pohon, seperti bercakap dengan daun mangrove. Tak hanya keindahan, tapi Ambulu juga menyimpan kekayaan ekosistem.
Dari sudut lain, ada hamparan tambak ikan dan garam yang luas, dengan beberapa bangunan gubuk kayu dan rentetan kincir angin. Terlihat juga sekumpulan anak-anak bermain sepak bola di pinggiran tambak. Berlari kesana-kemari dengan telanjang dada dan tertawa lepas. Sangat ceria dan bebas.
Disore hari senja pun tiba , nampak memerah. Cahayanya memantul melalui air laut, dengan beratap birunya langit. Dibarengi suara gemuruh dari rentetan kincir angin yang tertiup angin. Demikianlah suasana Ambulu yang masyarkatnya hidup menyatu bersama alam.
Tapi, lihatlah suasana kota, sungguh kontras. Macetnya kendaran pagi dan sore hari. Barisan manusia berseragam menjalankan mesin produksi, manusia seperti sama, seragam, hanya nomor urut yang membedakannya .Waktu diisi hanya untuk berhadapan dengan mesin, pekerjaan dan rutinitas yang sama, manusia bekerja seperti mesin. Bosan, tak ada interaksi sosial, apa lagi dengan alam, yang ada melulu transaksi demi produksi.
Belum lagi deretan tembok yang berlapis baja dan kaca, membuat suasana menjadi pengap. Jumlah kendaran yang terus meningkat membuat kualitas udara memburuk. Ruang publik habis disulap menjadi mall dan deretan hotel. Dan lalu-lintas manusia seperti robot, yang keseharinya menjalani sistem yang dibuat. Jam berangkat dan pulang beraktifitas sudah ditentukan, bahkan tidur sekalipun. Tak lagi terihat keunikan dan kelucuan manusia, otentitas manusia direduksi oleh sistem. Semua nampak seragam dan sama.
Apa iya begini pembangunan kota, yang kemajuan masyarakanyat dihitung hanya melalui statistik ekonomi. Yaitu, seberapa besar jumlah produksi, bagaimana memperbesar akumulasi modal, dan seberapa besar surplusnya untuk pemodal. Seolah menegaskan bahwa uang adalah tujuan, sah saja walau kita mengeksplotasi manusia. Betul, inikah arah pembangunan kita?
Karena ada rencana, Ambulu akan dibangun daerah perindustrian. Dan berita ini membua kegilisahan bagi masyarakat Ambulu. Sosialisasi perencanan itu sudah dilakukan setahun yang lalu. Tersiar juga kabar, bahwa pembebasaan lahan itu mengakibatkan masyarakat Ambulu terpecah. Ada yang setuju lahannya dijual dan ada yang tidak, terjadi pro dan kontra.
Tapi, menurut salah satu warga sekitar, sosialisasi pembangunan industri sudah sampai dengan janji-janji. Dan salah satu janjinnya adalah, masyarakat sekitar akan diberikan pekerjaan hingga anak dan cucu. Resah itu semakin membara, ketika orang asing datang ke Ambulu untuk memberi informasi bahwa pembebasaan lahan akan segera dieksekusi. oleh karenanya, bagi yang memiliki lahan agar segera mempersiapkan surat-suratnya. Karena harga permeter tanah sudah ditentukan, ini jelas membuat masyarakat panik.
Semestinya, varibel rencana pembangunan tak cukup hanya dilihat dari segi potensi ekonomi. Aspek antropologis, sosilogis, dan kebudayaan sekitar perlu menjadi tinjuan utama. Dan presfektif merawat kelestarian- kebudayaan sekitar adalah prosedur pertama yang harus dilewati. Mengapa, karena dalam sejarah eksistensi kebudayaan dan kelestarian setempat tak bisa disuntik dengan statistik ekonomi. Malah sebaliknya, dalam sejarah peradaban manusia pembangunan yang berpondasi ekonomi itu rapuh, cepat runtuh dan membawa bencana. Presfektif itulah yang mesti membuat pemangku kebijakan berpikir ulang soal rencana pembangunan, yang kini sudah menuai protes maha dasyat dari masyrakat sekitar.
Oleh sebab itu harus ada presfektif baru untuk melakukan pembangunan di era moderen. Karena sebetunya pembangunan di era moderen tak ditentukan oleh kumpulan besi-besi yang nampak seperti rumah besar (pabrik) dan juga hasil produksinya. Dengan barisan manusia berseragam bekerja dengan rutinitas, setiap pagi berangkat dan sore hari pulang ke rumah. Dan hanya memiliki libur dihari minggu, jika ingin pengasilan tambahan disediakan lembur dihari libur.
Jika konsep pembangunan demikian, manusia hidup seperti mesin, dan tercerabut dari kehidupan sosial dan alamnya. Waktu terisi hanya untuk berhadapan dengan mesin, bukan dengan manusia. Tak lagi mengenal alam sebagai bagian dari hidupnya. Alam dilihat hanya entitas produsen konsumsi, bukan sebagai relasi. Dan yang terjadi, manusia menjadi terasing dari ruang sosial dan alamnya.
Pembangunan mestinya berefek pada kebudayaan yang beradab. Manusia mampu hidup bersama dengan alamnya. Yang artinya, membiarkan masyarakat Ambulu hidup bersama kebudayaan otentikanya. Mampu hidup dan menghidupi alam yang memberikan kehidupan bagi anak-cucunya nanti. Karena dengan merawat ekosistem lingkungan sama halnya dengan memperpanjang masa peradaban manusia. Manusia ada karena lingkungan, yaitu alam.
Dengan harapan kelak, masih melihat burung berterbangan dan bukan asep pabrik. Masih merasakan jernihnya air laut, yang tak tercemari limbah pabrik. Masih ada tumbuhnya pohon mangruv, bukan beton-beton pabrik penyanggah pabrik. Masih memelihara tambak ikan dan garam, bukan gelondongan pipa dan besi karat. Karena kita spesies manusia masih perlu hidup dengan alam yang sesungguhnya. Untuk itu, jangan rusak ketentraman, kekayaan dan keindahan alam Ambulu.
Oleh : Kris Herwandi
COMMENTS