Pemuda Dalam Sobekan Sejarah Revolusi Indonesia

"Saat dunia lama telah runtuh, tetapi dunia baru belum datang, demikianlah revolusi selalu bermula. -Desiganted Survivor: 6...

"Saat dunia lama telah runtuh, tetapi dunia baru belum datang, demikianlah revolusi selalu bermula. -Desiganted Survivor: 60 Days"

Cirebon, Opini, Setaranews.com - Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam revolusi. Pemuda dengan semangatnya yang menggebu-gebu memang selalu mempunya peran yang penting, tak jarang mereka harus beseberangan dengan golongan tua. Begitu pun di dalam revolusi Indonesia, kaum muda dan kaum tua sering kali berbeda pandangan dalam cara berjuang namun pada kenyataannya dua kaum itu memiliki tujuan yang sama yaitu Indonesia merdeka. Hal itu yang membuat mereka tetap saling berkolaborasi meskipun tak jarang saling kritik, golongan muda yang menyebut Bung Karno dan Bung Hatta sudah menjadi kolabolator Jepang.

Begitupun golongan tua sering melihat bahwa golongan mudah hanya bisa mengkritik saja. Namun ketika gerakan kaum muda mendapatkan kesulitan, seperti saat kemenakan Dr Suharto ditangkap oleh Kenpeitai Bung Karno menolongnya diam-diam. Karena meskipun Dr Suharto merupakan sahabat Bung Karno ia tidak berani bercerita kepada Bung Karno tentang kemenakannya yang ditangkap sebab ia tidak ingin membuat Bung Karno dalam bahaya. Namun Bung Karno yang mempunyai mata-mata di Kenpeitai akhirnya mengetahui bahwa kemenakan Dr Suharto ditahan dan akan dijatuhi hukuman mati oleh Kenpetai karena ia mendengarkan radio gelap. Tetapi suatu hari Dr Suharto justru mendapati kemenakannya itu sudah kembali lagi dan sedang duduk di beranda depan rumahnya. 

Kejadian ini terjadi dengan sangat cepat dan tidak ribut-ribut. Begitupun saat tokoh pergerakan kaum muda bawah tanah Amir Syafrifuddin ditangkap oleh Kenpeitei Bung Karno menjaminnya dan berkata kepada pemerintah Jepang Bebaskan dia atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerjasama dengan saya sebenarnya butuh keberanian hati yang besar untuk Bung Karno berbicara seperti itu kepada pemerintah Jepang, namun butuh hati yang lebih besar lagi untuk dapat memandangi keadaan Amir Syafrifuddin ketika Jepang mengeluarkannya. Sama seperti golongan tua, Sjahril yang menjadi pemimpin golongan muda bawah tanah pun walaupun sering berseberangan dan mengkritik golongan tua di bawah Sukarno-Hatta. Namun ketika anggota-anggotanya memaksa Sjahrir supaya terus mengumumkan proklamasi tanpa Sukarno-Hatta. Ia menolak karena menghargai golongan tua seperti Sukarno-Hatta. 

Sehingga ketika Sukarno-Hatta menolak untuk membacakan proklamasi tanpa sidang PPKI. Sjahril pun membatalkan rencananya namun teks itu sudah sampai di Cirebon dan akhirnya dibacakan. Begitupun saat golongan muda menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok golongan muda yang melapor pada Sjahril justru memarahinya dan menyuruh nya untuk segera mengembalikan Sukarno-Hatta ke Jakarta.

Cirebon Merdeka Lebih Dulu

Mungkin masih banyak diantara kita yang belum tahu jika proklamasi Indonesia pernah dibacakan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya dua hari sebelum proklamasi yang dibacakan oleh Sukarno dan Hatta di Jakarta, proklamasi sudah lebih dulu pernah dibacakan, bukan di Bandung, Yogyakarta, atau Surabaya, kota kota yang sering disebut dalam perjuangan revolusi kemerdekaan kita, tetapi di sebuah kota kecil di pantura sebuah kota yang jarang disebut dalam cerita revolusi kemerdekaan kita. Cirebon, sebuah kota kecil di Pantura itu mungkin jarang disebut dalam cerita revolusi kemerdekaan Indonesia, bahkan orang orang lebih mengenal Rengasdengklok tetapi siapa sangkah bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia justru pertama kali dibacakan di kota itu, siapa lagi jika bukan Sutan Syahril dan golongan bawah tanahnya yang merencanakannya, sebenarnya banyak kota yang dipilih untuk menjadi tempat pembacaan proklamasi yang disiapkan oleh Sultan Syahril dan golongan bawah tanahnya ini namun hanya di Cirebon lah kelak teks proklamasi itu dibacakan. 

Teks proklamasi yang diketik langsung oleh Sutan Syahril ini langsung dikirim dan dibacakan oleh Dokter Sudarsono Kepala RSU Kesambi yang sekarang menjadi RSUD Gunung Jati, tepat tanggal 15 Agustus 1945 di Alun Alun Kejaksan, teks yang berisi kurang lebih 300 kata ini dibacakan di hadapan sekitar 150 orang yang mayoritas adalah golongan muda anggota gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Sutan Syahril. Peristiwa pembacaan proklamasi di Cirebon yang dirancang oleh golongan muda ini tidak begitu banyak diketahui oleh masyarakat banyak, entah karena cerita itu tersobek dari sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia atau sengaja disobek dari sejarah revolusi kita agar tidak membuat kebingungan sejarah, dengan peristiwa pembacaan proklamasi Jakarta yang lebih dulu kita kenal, tetapi peristiwa proklamasi di Cirebon ini menunjukan tekat dan keberanian golongan muda untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Soekarno dan Hatta Diculik

Sementara itu, di Jakarta sore harinya Soebadio menemui Bung Hatta di rumahnya. Aktivis muda itu mendesak Bung Hatta agar mau memprokamasikan kemerdekaan secepatnya karena saat itu kabar soal menyerahnya Jepang sudah tersebar di kelompok-kelompok pemuda anti-Jepang.

Namun Bung Hatta menolak karena ia merasa harus merundingkannya dahulu dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) keesokan harinya. Oleh sebab itu adu mulut pun tak terhindarkan karena Bung Hatta tak mau dipaksa untuk menyegerakan proklamasi sebelum diadakannya rapat dengan PPKI. Namun ternyata bukan hanya Bung Hatta saja yang didesak oleh golongan muda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, malam harinya golongan muda yang diwakili oleh Wikana, Soebadio, Suroto Kunto, dan D.N. Aidit mendatangi rumah Bung Karno. Golongan muda itu mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa proses sidang PPKI.

Namun Bung Karno tidak ingin mengambil risiko untuk bentrok dengan jepang. Hingga akhirnya Wikana yang emosi mengancam Bung Karno Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah! seru Wikana. Tiba-tiba Bung Karno melompat ke tengah-tengah para pemuda itu Ini kudukku. Boleh potong... hayo. Boleh penggal kepalaku...... engkau bisa membunuhku..... tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya dengan karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu. Kata Bung Karno dikutip oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Tiba-tiba suasana hening. Semuanya kebingungan, takut, kaget, marah. Tentu saja Wikana dan kawan-kawannya tak bisa menjawab apa-apa lagi. 

Mereka sadar tanpa golongan tua mereka tidak bisa bergerak karena tidak ada tokoh lain yang punya wibawa dan kekuatan politik selain Sukarno-Hatta yang bisa mengobarkan revolusi. Pertemuan yang emosional itu pun berakhir tanpa hasil dan mereka semua bubar. Sepulang dari rumah Bung Karno, Wikana menemui kawan-kawannya di Asrama Cikini 71. Ceritakan semua omongan Bung Karno dan Bung Hatta di hadapan aktivis-aktivis pemuda lintas golongan yang sudah menunggu di sana. Ditengah pertemuan itu mereka juga menerima telegram tentang pernyataan Kaisar Hirohito yang minta damai kepada Sekutu. Kabar itu mungkin belum sampai pada Sukarno, Hatta, dan anggota PPKI lainnya. Semangat mereka untuk bergerak kini menemukan pembenarannya.

Akhirnya disusunlah sebuah rencana untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang. Maka, pada subuh tanggal 16 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok. Siang harinya terjadi keributan di kalangan anggota PPKI lantara dua pimpinan mereka tidak menghadiri rapat dan tidak diketahui keberadaannya. Militer Jepang yang dicurigai menyembunyikan Dwitunggal itu pun sama-sama tidak mengetahui keberadaan Bung Karno dan Bung Hatta. Ahmad Subardjo salah satu anggota PPKI meyakini bahwa hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta ada kaitannya dengan pertengkaran mereka dengan golongan muda pada malam sebelumnya. 

Sementara itu, di Rengasdengklok Bung Karno dan Bung Hatta hanya berdiam diri seharian. Nampaknya revolusi yang digembor-gemborkan oleh golongan muda di Jakarta tidak terjadi. Setelah Subardjo datang ke Rengasdengklok sore harinya baru semuanya terlihat jelas bahwa di Jakarta aman-aman saja dan benar jika Jepang sudah meminta damai kepada sekutu. Itulah yang menjadi titik balik melunaknya Bung Karno dan Bung Hatta kepada golongan muda, setelah itu Dwitunggal itu pun berjanji untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Maka tepat esok harinya, 17 Agustus 1945 pukul 10. Revolusi sudah dimuai dan hal ini tidak akan terjadi jika tanpa keberanian golongan muda dan kebijaksanaan golongan tua untuk sama-sama berjuang demi kemerdekaan Indonesia.   

Penulis: Aditya Panca (Anggota Magang LPM Setara)