Essai: Rimba Yang Hukum

Essai, Setaranews.com - Kita sering mengunakan label "Hukum Rimba" ketika melihat sebuah duduk persolaan hukum yang melatar...

Essai, Setaranews.com - Kita sering mengunakan label "Hukum Rimba" ketika melihat sebuah duduk persolaan hukum yang melatarbelakangi kekuatan-kekuatan  kaum kuat dengan kaum lemah. Keadilan di negeri ini hanya seolah berpihak kepada kaum kuat "berduit". Pandangan sekeptis ini sudah diaamiini bahkan publik selalu dibuat gerah dan prihatin. Wajah keadilan Indonesia ini benar-benar menyesakan rakyat kecil. Sangat banyak kasus perihal diatas, dengan demikian wajah hukum di Indonesia sangat mudah dibeli. Siapapun penjahatnya, asalkan dia kuat dan kaya diakan menang dengan mudah di depan hukum. Dan tak sedikit korbanya adalah orang yang lemah tak berdaya menjadi kambing hitam dan tumbal didepan hukum. Yang harusnya memproduksi keadilan dan kebenaran. Malah menjadi kontradiksi dalam mekanismenya.

Kita sangat familiar terhadap Pancasila dengan idom-idom, retorika-retorika kebangsaan, dan yel-yel Nasioanlisme sangat hebat kita medefinisikanya dalam forum-forum seminar, diskusi, pidato-pidato formal dan terlebih dalam  landasan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai Luhur karya Kreatifitas putra-putra terbaik bangsa. Dan sekarang setiap orang memobilisasi gerakannya dalam kembali menegakan Pancasila sebagai pedoman hidup Berbangsa dan Bernegara. Tetapi coba renungkan dan temukan mana Tuhan yang Maha Esa-nya? Mana manusianya? Mana Adilnya? Mana beradabnya? Mana persatuanya? Mana hikmatnya? Mana Kebijaksanaanya? Mana permusyawaratan rakyatnya?, mana rakyat dalam perwakilannya? Mana semua itu?  bukankah itu semua yang harusnya menjadi buah dari nilai Pancasila itu sendiri dan bukankah nilai ‘goalnya’ adalah ‘’Kedilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonsia’’. Mana?. Sudahkah? Belum, Lalu Kapan? 

Bhineka Tunggal Rimba

Semua percuma saja sudah berapa ribu Sarjana?, Profesor? Hakim? Akademisi? Aktivis? Hanya sebagian kecil yang sanggup memahami, tapi tetap saja, karena hukum ia tak bisa masuk ke hati manusia. Kita mengutuk Hukum Rimba tapi besok-besok kita merindukannya hukum rimba memang yang berkuasa yang kuat tapi tidak menindas yang lemah. Hutan tidak di bakar oleh kawanan Harimau, Populasi Rusa hidup sejahtera  tidak punah karena dimangsa oleh Singa. Singa tidak sesadis manusia, ia tak makan tikus kecil ia hanya mencukupi kebutuhan meski raja hutan ia tidak untuk memuaskan nafsu kekuasaanya. Mereka berjalan dengan "Sunnatullah", Hukum alam yang mereka taati. Serigala tidak melanggar ekosistem alam sebab ia tak mengkhianati rakyat hutan lainnya. Tak menyuap rumput agar tak tumbuh membuat kawanan kambing mati kelaparan. Pohon tidak curang dalam mengelola kebijakan Oksigen ia tetap menjalakan tugasnya meski kemarau melanda. Hutan tidak pernah rusak oleh penghuninya karena setiap rakyatnya memiliki potensi unduk memahami akan merawat system dan hukum didalamnya. Tidak rakus, tidak serakah   seperti "adiknya" Manusia. 

Seluruh Penguhuni Hutan memiliki naluri dalam menjalanan kerukunan sesama penghuninya agar setiap penghuni memhargai, tidak curang, saling menjaga, dan memegang teguh nilai-nilai hukum rimba . Kawanan Rusa tak boleh memakan bunga agar pohon bisa melakukan penyerbukan dan fotosinstesis, lebah hanya membuat sarang dipohon tinggi dan di gua-gua saja agar tidak menganggu kehidupan tupai dan monyet dalam mencari makan. Harimau paling dulu menyerang manusia andaikan hutannya dirusak, dibakar, dan ditebang, Sedemikian indah suansana demokrasi di dalam hutan. Produk demokarsi yang melahirkan hukum tanpa kepentingan, tanpa tawar-menawar kekuatan, dan tanpa kerakusan kapitalis.  Sesuai apa adanya kebutuhan penghuninya. Dan itu tidak ditulis tapi semua sepakat akan kodratnnya sebagai rusa yang menjadi rusa, tikus menjadi tikus, singa menjadi singa, karena setiap rakyat hutan memiliki naluri yang di beri Tuhan dan ia menaati produk Mekanisme-Nya. Mereka memiliki dasar Bhineka Tunggal Ika dan Nilai Luhur Pancasila di dalam hutan dengan versinya lebih abadi dan sejati karena mereka tetapkan di hati. Dan manusia belum pernah belajar dari hewan untuk menjadi manusia. Ia hanya melempar perumpamaan bahwa hewan itu lebih rendah dari pada manusia karena tak memmiliki akal, Benarkah?

Manusia belum belajar, lalu kapan?

Manusia mengambil harimau menjadi lambang kekuatan dan Rusa adalah mahluk yang lemah. Dan sangat mudah membasminya, menindasnya, memerasnya demi kemenangan Kekuasaan, Hukum, Politik dan Pasar. Manusia bikin pemilu untuk memilih bupati, gubernur, wakil rakyat atau presiden. Kita bangun pasar kapitalis kekuasaan yang kita sebut demokrasi, Kita didirikan pabrik-pabrik industry generasi seseuai kebutuhan pasar. Seseuai kebutuhan hasil transaksi materi. Dan hasilnya Kancil menjadi Raja Rimba. Tokek menjadi Mentri. Dan monyet di make-up diumumkan sebagai public figure menipu penghuni hutan lainya dan menjadi sarana jembatan para pemburu dan penebang untuk memeksploitasi, menjarah, menguras, membakar seluruh hutan. Demi sesisir pisang-pisang manis upah dari para manusia. 

Kita memproduksi hukum demi menjaga aturan-aturan kehidupan manusia agar tidak bertambrakan satu sama lain. Menjaga setiap nyawa, melindungi setiap harta, menghormati setiap Harkat dan martabat manusia. Tapi kita tidak mau belajar dari hutan. Hanya mengandalakan Kurikulum dan sekolah. Tidak pernah mengasah sifat-sifat naluri kemanusiaan kita. Pada hakikatnya semua mimpi manusia itu sama. Mimpi penduduk Negeri ini sederhana dan Universal kehendak pemerintah itu saja yang kadang kala berlebihan dan juga kerakusan. Semua begitu besahaja dan sejahteraa seperti penduduk hutan karena berjalan sesuai batas kewajaran apa adanya. Sifat-sifat yang semacan ini yang harus kita renungkan tetapi begitu sukar karena sifat-sifat manusiawi seperti tidak jelas jaminannya sebagai kodrat dasar tapi kerakusan dan materisme mengubur sifat-sifat manusiawi tersebut. 

Back To Nature

Para Aktivis berteriak ”Hentikan hukum rimba, ketika yang menang adalah yang kuat karena menguasai modal’’ Maksudnya Mulia, tapi salah kata. Rimba adalah Organsime dan Ekosistem terindah dan paling mendasar dalam memproduksi Hukum. Sebuah karya Tuhan yang Maha Esa. Yang kita nantikan bersama justru berlaku kembali hukum Rimba.

Penulis:

Adi Karya Herlambang, Kuningan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2019 

Fakultas Ilmu Sosial Politik

Universitas Sunan Gunung Jati (UGJ)